Mataku terasa
lengket karena lelah. Ini sungguh tak adil. Materi biologi baru saja hanya 1/8
dari separuhnya yang kubaca. Kau bisa bayangkan, itu kuantitas yang teramat
kecil.
Aku mulai duduk
menghadap Asus, lepi nanggung yang kupikir saat ini adalah satu-satunya benda
paling berharga yang kupunya. Aku mengharapkan sebuah selingan untuk menyegarkan
kembali mata yang ‘lelah’. Lihatlah, jari-jariku mulai cekatan menekan tombol
navigasi yang ada di keyboard qwerty si Asus. Ada rasa bersalah yang terlintas,
namun tak banyak jika kau ingin tahu.
Computer --> DATA (D:) --> GENERAL -->
Ulma Unique --> Literatures -->
E-Books --> KUMPULAN NOVEL -->
Lord of the Ring -->…
Ada banyak subfolder, semua terstruktur. Tidak
sulit untuk mencari berkas-berkas yang kau butuhkan di ‘Asus’ kesayanganku ini.
Jemariku
menggantung, hanya tinggal menekan satu klik saja Fellowship of the Ring dengan format pdf terbuka. Fantasiku bisa
berlanjut kembali. Namun semua terasa lebih berat dari biasanya. Perasaan
bersalah yang ‘tak banyak’ di awal tadi malah berkoloni membentuk gumpalan awan
mendung tepat di atas kepalaku. Siap menghujani dengan tampungan rasa bersalah
yang sudah semakin berat dikandung.
Tiba-tiba dua
sosok mungil mulai berusaha menyembulkan kepalanya dari balik ‘awan kesalahan’
itu. Mereka terlihat kepayahan. Sepertinya ini terlalu naïf. Tapi, biarlah
kubagi sedikit. Betapa liarnya fantasiku saat ini.
Kedua sosok
mungil itu mirip sekali denganku. Jika inert
fantasymu sudah mulai dapat diajak kompromi, kau boleh membayangkan.
Sosok-sosok mungil itu seukuran dengan jari telunjukmu ditambah 1 inci (well, kukira itu relatif). Mereka
awalnya mulai berdebat, menggunakan bahasa yang sama sekali tak kumengerti.
Bahasa peri, bisa jadi. Tunggu, kau menyimak kata peri, kawan? Well, ada sedikit gambaran yang
setidaknya harus kau pahami.
Di sisi kanan
bagian atas kepalaku, sosok mungil yang menyembul dari balik awan adalah sosok
yang anggun. Kau bisa bayangkan, ia mengenakan gaun putih dengan mahkota bundar
di atas kepalanya. Sepasang sayap ala malaikatpun ikut bertengger di balik
punggungnya. Dengan kostum norak seperti itu membuatnya terlihat lebih
kepayahan daripada si mungil yang berada di sebelah kiriku ketika berusaha
menyembulkan kepalanya dari balik awan. Mahkotanya hampir saja menggelinding,
beberapa helai bulu putih sayapnya juga ikut tergerus hingga mengenai kelopak
mata kananku.
Lain lagi
halnya dengan si kiri, ia lebih sederhana tampaknya. Hanya mengenakan pakaian
serba merah dari ujung kepala hingga ujung kaki, dan… sepasang tanduk lambang evil di ujung kepala.
Mereka masih
berdebat.
Butuh sedikit
kesabaran…
Aku menunggu…
Masih…
Dan akhirnya…
“STOP! Kumohon,
berhentilah…” aku menyentak, mereka terkejut. Menyadari respon yang mulai tak
menyenangkan, dengan sepasang mata yang tak lepas memandangku mereka mulai
melangkah menuju bahuku. Duduk.
“Bicaralah… dan
katakan, apa yang kalian inginkan?” lanjutku kesal.
“Kau hendak
membaca novel itu lagi? Fellowship of the
Ring?” si merah mengambil kesempatan pertama untuk memulai pembicaraan
denganku.
“Apa
masalahmu?” tanyaku menantang.
“Putar balik
navigasinya, harusnya sejak awal kau arahkan ke main folder ‘SCHOOL’, bukan ‘GENERAL’. Biologi menantimu…” si merah
berkata bijak. Aku justru terkejut mendengarnya. Kupikir negasi dari pernyataan
bijak seharusnya lebih wajar ia lontarkan.
“Dasar
munafik!!! Itu kata-kataku! Kau bajak skenarioku…” si putih berdiri dari bahu
kananku dan mulai menumpahkan emosinya dengan menunjuk-nunjukkan jarinya ke arah
si merah. Sedangkan yang dihujat hanya tersenyum santai menanggapi si putih, ia
semakin menunjukkan kesan bijaknya.
“Percayalah,
semua ini tidak seperti yang kau bayangkan. Ada maksud jahat yang tersembunyi
di balik bijak yang kau pandang!” si putih berkata dengan berbisik sambil
memeluk pipiku, yang kubisa hanya melirik aneh ke sosok yang satu ini. “Percayalah…”
ia memelas sekali lagi.
“Dengarkan
kata-kataku, pastikan jalanmu benar, kau sungguh takkan menyesal!” si merah
kembali melancarkan x-missionnya. Ia
sungguh lihai, ucapan-ucapan sihirnya yang extremely
soft membuatku semakin mudah menerima sugestinya.
Tak disangka,
sosok mungil anggun bersayap itu seketika berlaku anarkis. Ia bergegas
menghampiri si merah lalu segera menarik tanduk evilmiliknya. Mereka saling berangkulan, mencoba beradu posisi memperebutkan
kemenangan. Memandang mereka dalam perseteruan fisik ternyata lebih kunikmati.
Ini menarik. Menyaksikan harmoni warna yang seharusnya bersatu malah berseteru.
Persis seperti yang terjadi dewasa ini. Hubungan dengan bangsa lain jalin
melalui persahabatan, dengan bangsa sendiri melalui permusuhan. Merah dan putih
bukannya dijadikan berdampingan, malah dijadikan perselisihan. Sungguh
menggelikan!
“Lepaskan,
bodoh! Sakit tauu..” tanduk kiri si merah masih tertarik kuat oleh tangan si
putih.
“Karena
tandukmu ini yang telah mentransmisikan sugesti yang berlawanan dengan
kata-kata zahirmu, inilah harga yang harus kau bayar! Uugghh…” si putih berkata
sembari tetap menarik tanduk kiri si merah.
“Biarkan aku
menghasut dengan caraku sendiri! Sisi jahat mengarahkan ke perbuatan baik belum
ada ditemukan, maka akulah pencetusnya!”
“Tapi itu jelas
melawan kode etik penghasutan! Kau curang! Kau tetap curang!”
“Sekali lagi,
dengarkan! Biarkan aku dengan caraku. Dan biarkan hasil akhir yang menentukan..
jangan terlalu diambil pusinglaah..”
“Baiklah kalau
begitu. Kita lihat saja hasil akhir nanti…”
Untuk ke sekian
kali, aku menyaksikan mereka saling menghujat dalam debat. Masih dengan bahasa
mereka yang tak sepenuhnya terdefinisi. Samar-samar terdengar olehku mereka
menyebut-nyebut tentang ‘sugesti’ dan ‘kode etik’. Semua itu membuatku semakin
sulit untuk menentukan siapa sebenarnya yang protagonis di antara mereka.
“Cukup, kawan!
Terimakasih untuk perdebatan sekaligus nasihat kalian hari ini. sekarang,
kalian bisa kembali… silakan!” aku mengakhiri perjumpaan dengan dua makhluk
kecil yang sebelumnya sudah kukatakan, sangat mirip denganku. Segera saja si
putih berlari kecil mendekatiku dan berbisik tepat di daun telinga kananku,
“Tetapkan hatimu, kawan. Jika kau benar-benar mendengar apa yang dikatakan si
merah di awal, maka semua itu memang benar adanya. Tapi kau tetap harus
berhati-hati, kau bisa saja melakukan hal yang berbalik karenanya,” maka
kubalas pesan si putih dengan senyum ringan saja. Kubiarkan ia beranjak naik
kembali menuju awan yang sejak awal tadi berada di atas kepalaku. Kembali, ia
terlihat semakin kepayahan dengan kostum malaikat yang ia kenakan. Setelah
berhasil mencapai puncak awan, si putih kembali berpaling padaku dan berkata,
“Lain kali, kau bisa merancang kostum yang lebih ringan untukku.” Melihat
ekspresi datar yang mengiringi ucapannya membuatku terpaksa harus menahan tawa
geli karenanya. Kemudian ia dan si merahpun segera menghilang dari balik awan.
Bersamaan dengan itu pula awan mendung yang berkoloni di atas kepalaku seketika
berubah cerah dan menghilang hanya dengan sekali kedipan.
Setelah itu, menurutmu
apa yang terjadi?
Cerdiknya si
merah. Dengan sengaja mengarahkanku menuju perbuatan yang lebih utama,
sedangkan ia jelas tahu bahwa manusia malah cenderung melakukan perbuatan yang
kurang utama meskipun telah dinasihatkan sebelumnya. Dengan bahasa yang sedikit
berbeda, bahwa manusia cenderung melanggar nasihat, manusia cenderung melawan
peraturan, manusia cenderung melakukan sesuatu yang dilarang.
Dengan rasa
bersalah yang kembali menyurut, tanpa ragu kujatuhkan pilihan untuk menekan
tombol Enter pada tuts keyboard.
--> Fellowship of the Ring
OPENED!
Mari, lanjutkan
membaca novel! :D
Usaha di UH 2 yang lebih maksimal
Disertai dengan selingan yang kelewat maksimal
Sebuah hobi yang tiada pernah mencapai titik marginal
Godaan Saat Belajar Biologi untuk
Try Out
Kamis, 14 November 2013