Sabtu, 27 Desember 2014

Refleksikan Amarah melalui Doa



Pernah melihat hadiah Tuhan yang disimpan untuk bumi? Hadiah itu disembunyikan-Nya di balik rintik hujan nan menyejukkan. Ya, kau mengenalnya dengan pelangi. Indah bukan? Pelangi berasal dari cahaya matahari yang terurai oleh butiran-butiran air di atmosfer. Ketika pelangi masih dalam bentuk satu warna dalam cahaya sang surya, kita belum mengenalnya sebagai sesuatu yang indah. Ia masih berupa cahaya putih tanpa variasi. Tidak ada yang terlihat istimewa dari cahayanya yang monoton, kecuali kita mengenalnya sebagai sumber energi terbesar yang dimiliki bumi. Namun ketika cahayanya terurai menjadi spektrum-spektrum cahaya berbagai warna, kita mengenalnya sebagai lukisan langit nan indah bernama pelangi.
Satu pertanyaan lagi, kawan. Apa saja yang kau makan hari ini? Sesuatu yang manis? Pedas? Asin? Atau gabungan dari semua rasa? Maka demikianlah seharusnya. Bayangkan saja betapa bahayanya ketika lidah hanya dibiarkan mengonsumsi makanan yang manis. Tubuh akan sangat berisiko terkena penyakit diabetes. Lantas bagaimana jika kita hanya mengonsumsi makanan pedas sepanjang hari? Tentu akan sangat membahayakan dinding lambung yang dapat berakibat timbulnya penyakit maag. Ternyata dalam hal makanan pun kita tidak bisa mengonsumsi hanya satu macam rasa saja.
Fenomena yang sama juga terjadi di dalam kehidupan di muka bumi. Dalam skala yang lebih spesifik kita dapat melihat pada karakter yang dimiliki oleh setiap manusia. Dalam hal ini kita mengetahui bahwa setiap manusia di dunia hidup dengan karakter yang berbeda-beda. Ada yang pemaaf, pemarah, pendiam, cerewet atau bahkan kombinasi dari beberapa karakter, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan. Di satu saat, kita mungkin masih bisa merasa nyaman dengan karakter buruk seseorang. Namun ketika karakter buruk tersebut malah berimbas sampai menyakiti hati kita, maka pertanyaannya; mampukah kita bertahan tanpa amarah?
Sebagian dari kita mungkin ada yang masih mampu menahan amarah. Namun belum tentu demikian bagi sebagian yang lain. Lantas apa yang mesti dilakukan ketika seseorang sampai hati menyakiti kita dengan sifatnya yang kurang terpuji?
Menenangkan hati adalah langkah pertama yang paling utama demi menjaga hati dari percikan noda karena amarah. Kunci untuk dapat memperoleh ketenangan hati tiada lain adalah dengan mengingat Allah melalui dzikir. Seperti apa yang telah difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an surat Ar-Ra’d ayat 28 sebagai berikut :
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram,”
Setelah berdzikir, perlakukan ia yang menyakitimu dengan perlakuan yang baik tanpa sepengetahuannya. Perlakuan baik itu adalah dengan mendoakannya. Mohonkan kepada Allah agar hatinya dapat terbuka untuk menyadari sifat yang tanpa sadar telah menyakiti karibnya. Agar hatinya terbuka untuk paling tidak meminta maaf atas khilaf diri yang lepas kendali, agar hatinya dapat terbuka untuk mengubah sedikit demi sedikit perangai buruk yang dimilikinya.
Mengapa harus memilih doa sebagai perlakuan baik untuk membalas ia yang telah menyakiti hati? Coba simaklah hadits di bawah ini :
“Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama,” (H.R. Muslim)
Dari hadits di atas kita dapat mengetahui bahwasanya doa yang kita panjatkan untuk saudara sesama muslim juga akan terpantul menjadi doa yang sama yang diucapkan oleh malaikat untuk kita. Lihatlah, betapa beruntungnya bagi orang yang mendoakan. Doa kebaikan yang diterima bukan dari manusia yang tak pernah luput dari dosa, melainkan dari malaikat yang tidak ada sedikitpun ingkar dalam setiap detail titah Tuhannya.
Demikianlah kenyataannya, selain menyelipkan harap dalam doa agar ia yang telah lalai menjaga sikap buruknya dapat berubah menjadi lebih baik, secara tidak langsung malaikatpun berdoa untuk perbaikan pribadi yang mendoakan. Dengan begitu kita dapat menyadari bahwa yang membutuhkan doa kebaikan itu bukan saja ia yang kita anggap telah banyak menyakiti. Tetapi juga kita sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya kitapun sangat membutuhkan doa yang serupa. Siapakah yang dapat menjamin bahwa yang mendoakan pastilah seorang yang suci dari perangai buruk nan menyakiti? Tak seorangpun, kawan.
"Maka refleksikanlah amarahmu melalui doa. Untaian kata bermakna kebaikan untuk saudara muslim tercinta yang mungkin lupa. Apabila perangai buruknya masih saja muncul dan membuat sakit di dada, maka keraskanlah doa sekeras ia menorehkan luka."

Kamis, 11 Desember 2014

Doa Estafet (PART I)



Apa kabar, siang? Seperti biasa, desember ini kau masih saja berselimut sendu. Kerap kali juga kusaksikan matahari yang pemalu, selalu berusaha menyembunyikan diri di balik punggung sang awan. Untukmu, sang surya. Aku ingin berkata. Betapapun kau berusaha bersembunyi, ada kalanya titah tuhan akan membuatmu kembali untuk bumi. Kembali sebagai rahmat, sama seperti awan yang juga bertahan dengan mengantungi hujan sebagai rahmat.
Sekian lama menunggu celah untuk memulai perjalanan ke kampus demi kalkulus, akhirnya hujan mulai mereda menjadi rintik gerimis. Dari gerimis kemudian melemah menjadi hanya berupa butiran-butiran halus air langit yang menyisakan hawa dingin. Tidak ada lagi kesempatan sebaik ini untuk menerobos jalanan siang, kurasa. Akhirnya kuputuskan untuk berangkat bersama ‘si kuning’.
Belum lagi sampai tujuan, air langit kembali menderas dari hanya berupa butiran-butiran halus menjadi rintik gerimis yang semakin lama semakin menderas, hujan pun menerpa tanpa ampun. Aku tak kan menyesal jika harus 'bolos' kuliah karena kondisi yang seperti ini, setidaknya aku memiliki ikhtiar untuk mengejar kalkulus yang hanya memiliki jatah 40 menit untuk hari ini.
***
Dari kontrakan menuju kampus hujan semakin deras. Karena takut pakaian basah kuyup akhirnya aku memutuskan untuk berteduh di MIPA Utara sembari menunggu kemungkinan hujan mereda. Tapi waktu terus berjalan, tanpa berhenti sedikitpun atas dasar kasihan melihat seorang mahasiswi yang rela menerobos hujan demi kalkulus (wheh :3).
Kenyataannya, setelah menunggu beberapa lama air langitpun tak kunjung sirna. Tapi setidaknya hujan telah kembali mereda menjadi hanya berupa jarum-jarum kecil air yang menghujam ke bumi. Ini kesempatan (lagi). Kupikir kembali menerobos jalan menuju MIPA Selatan tidaklah terlalu menyiksa dengan sendu langit seperti ini.
Perjalanan dari MIPA Utara menuju MIPA Selatan tak sampai memakan waktu 10 menit. Setelah sampai di depan gedung MIPA Selatan akupun bergegas melangkahkan kaki menuju ruang kuliah. Belum sampai di ruangan, jam dinding di persimpangan tangga menuju lantai 2 menyergapku dengan perasaan ragu. Kondisi sudah basah kuyup dan waktu yang tersisa kurang dari 20 menit lagi. Bimbang. Antara mengikuti kuliah -dengan pakaian yang basah kuyup- dengan membiarkan waktu terlewatkan karena kondisi badan yang sudah tidak nyaman karena basah.
Tanpa membuang waktu lebih banyak lagi, akhirnya aku memutuskan untuk ‘mengikhlaskan’ kalkulus pada hari itu dan menggantinya dengan mengunjungi mushalla depan kampus. Ingin menunggu agenda selanjutnya saja, pertemuan terakhir sekaligus acara penutupan APAI.
>>to be continued