Rabu, 06 Agustus 2014

I am Learning

Matanya terlihat sembab. Bukan sembab karena air mata. Tapi karena air minum. Sejak beberapa menit yang lalu air minum yang ia letakkan di atas meja di samping komputernya telah ia alih fungsikan menjadi cairan penangkal kantuk, bukan lagi pengusir dehidrasi.
"Hoaaamm.." Kimya menguap lebar demi melihat artikel yang sedang dikerjakannya masih kurang dari tiga ratus kata. Nyamuk-nyamuk di sekitarnya bahkan sempat hilang kendali akibat udara yang keluar deras dari mulutnya. Sekali lagi Kimya mencelupkan ibu jari dan telunjuknya ke dalam gelas yang menampung 'air minum'nya, dan kini hanya tertinggal sepertiga gelas saja.
Tuk.
Kepalanya terantuk cukup keras di layar monitor komputernya. Lantas ia kembali tersadar, mengatur jemarinya yang kian bergeser dari tuts keyboard agar sesuai dengan kaidah pengetikan sepuluh jari yang seharusnya. Deadline yang akan berakhir beberapa jam lagi membuatnya berusaha sekuat tenaga untuk melawan kantuk yang hebat.
Tiba-tiba saja Kimya merasakan massa tubuhnya berkurang secara perlahan, namun pasti. Ia benar-benar bingung dengan apa yang terjadi, bahkan ia tak mampu menghalaunya agar berhenti. Kimya melayang. Ataukah hanya 'merasa' melayang? Apakah ini ulah angin malam yang ingin menerbangkannya hingga terdampar di suatu tempat yang tak dapat ia prediksi?
***
Tidak ada yang tahu bagaimana Kimya sampai di tempat berkabut ini. Tempat berkabut yang secara berangsur-angsur mulai menipis dan akhirnya menjelma menjadi sebuah taman yang mirip dengan taman di belakang rumahnya. Di tengah taman itu terdapat satu bangku panjang. Bukan bangku panjang seperti bangku yang biasa terdapat di sekolah dasar tempatnya dulu. Ini bangku yang benar-benar panjang. Jika kau tetapkan satu langkah berjalan selebar 35 sentimeter, maka untuk mencapai ujung bangku yang satu dengan ujung bangku yang lain membutuhkan kurang lebih sebanyak 28 langkah. Bisa kau bayangkan dan pikirkan sendiri, pernahkah kau melihat bangku sepanjang itu?
Saat ini semua yang Kimya lihat dan rasakan terasa aneh. Bahkan ia sama sekali tidak terkejut mendapati seseorang yang amat ia kenal duduk di ujung bangku sebelah kanan. Ia pun berjalan mendekat, lantas duduk di ujung bangku sebelah kiri.
"Pernah cerita tentang masalah yang sekarang?" Tanpa basa-basi, Indra, lelaki yang duduk di ujung bangku sebelah kanan itu melontarkan pertanyaan yang belum sepenuhnya Kimya pahami.
Apa? Masalah? Apakah maksudmu hubungan kita saat ini sedang bermasalah? Kimya bertanya dalam hati.
"Masalah apa?" Kimya balik bertanya dengan raut keheranan.
"Ya ini..."
"Ini..? Apa Ndra?"
"Bahwa aku sudah tidak perhatian lagi,"
"Aku cuma cerita sama sahabatku, itupun tumben.."
"..."
Percakapan itu mendadak terhenti. Hanya terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Entah apa yang terpikir oleh Indra setelah mendengar jawaban terakhir dari Kimya. Kimya hanya mampu membalas sunyi dengan sunyi. Ia lalu bergumam dalam hati, "Diamnya apakah berarti ia menyesalkan betapa lemahnya diriku? Diamnya apakah berarti sebuah pertanyaan yang terlontar mengapa aku tidak bisa menjelma menjadi seperti sosoknya yang kuat, tak pernah menceritakan masalah pribadi kepada sahabatnya sekalipun? Diamnya apakah berarti pertanda bahwa tindakanku salah? Adakah aku telah melakukan satu kesalahan jika sekali-sekali menumpahkan beban yang teramat berat kurasakan dengan menceritakannya kepada sahabat yang paling ku percaya?
Kalau begitu, maafkanlah... aku sedang belajar, I am learning. Aku sedang belajar untuk menjadi sosok yang benar-benar kuat. Menjadikan Allah sebagai satu-satunya sandaran atas berbagai permasalahan hidup yang kualami, yang kujalani. Jangan kira ini adalah sesuatu yang mudah. Ini tidak mudah, ini teramat sulit bagiku. Maaf, Indra.
Jika sekarang kau menghilang lagi, bagaimana aku menjawab pertanyaanku sendiri yang selalu mengatakan 'kau di mana?' ? Apa kau selalu sibuk dengan kuliahmu, hingga aku salah kira dengan menganggapmu tidak memiliki perhatian lagi? Aku tentu salah jik..."
***
"...Apa kau selalu sibuk dengan kuliahmu, hingga aku salah kira dengan menganggapmu tidak perhatian lagi? Aku tentu salah jik...aaargh.. Ini apaan sih?" Kimya terbangun setelah merasakan dinginnya sepertiga sisa air minum yang digunakan Mira untuk mengguyur wajahnya.
"Sorry..sorry.. habis kamu dibangunin susah banget sih, jadi aku guyur aja pake ini," Mira berkata sambil menunjukkan gelas yang masih berada di genggamannya.
"Lagian ngapain sih pake bangun-bangunin segala?" Kimya berkata kesal sambil mengusap wajahnya.
"Niatku baik lo Kim, itu, artikel buat tugas ospek besok belum selesai dikerjain.."
Kimya menoleh ke arah monitor komputernya, dan ternyata benar, artikel yang ditulisnya belum mencapai jumlah kata minimal yang disyaratkan. Tulisannya hampir mencapai satu halaman ukuran A4, disebabkan karena tombol 'm' yang ditekan terlalu lama. Menjadikan paragraf terakhir penuh dengan berpuluh-puluh huruf 'm'.
"Ya ampuun..." Kimya berkata sembari menepuk jidatnya. "Kamu kenapa senyum-senyum gitu? Aneh banget.."
"Kamu kalo ngigo puitis ya?" Kata Mira.
"Hah? Ngigo? Puitis? Maksudnya?"
Mira lalu dengan singkat menjelaskan apa yang dikatakan Kimya tanpa sadar. Kimya tak habis pikir bagaimana ia bisa melontarkan kata-katanya hingga ke dunia nyata, padahal itupun diucapkannya dalam hati, di dalam mimpi tentunya.
"Ternyata aku yang aneh ya.." Kimya berkata sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Cerita ke sahabat aku pikir ga ada salahnya kok Kim.."
"Kok kamu malah nyambung ke sana lagi Mir,"
Tanpa menghiraukan pertanyaan Kimya, Mira pun melanjutkan, "Yang salah itu, cerita privasi ke orang-orang yang belum tentu bisa dipercaya. Menjadikan Allah sebagai satu-satunya sandaran? Itu memang harus, Kim. Tapi dengan menceritakan masalahmu ke sahabat, bukan berarti melupakan Allah sebagai Yang Maha Pemurah dalam memberi pertolongan. Kamu tahu bagaimana bertindak ketika benar-benar merasa sempit karena satu beban?"
"Gimana?"
"Lari ke Allah dulu, dekatkan diri untuk meminta pertolongan dan ketenangan. Barulah setelah itu kamu boleh membagi masalahmu dengan sahabat untuk meminta saran maupun pertimbangan, itupun jika kau rasa perlu. Jangan sampai terbalik untuk lebih mengutamakan sahabat sebagai tempat mengadu daripada Rabb sendiri. Gimana? Kamu bisa tangkap maksudku?"
Kimya hanya menjawab dengan anggukan lemahnya saja. Bagaimanapun juga, ia tetap ingin belajar untuk mandiri dan lebih kuat dalam menghadapi masalahnya sendiri, dan bersedia berbagi hanya dengan Rabbnya.
***

°°Long bench = Long distance

Sabtu, 02 Agustus 2014

No Title (Temporary)

Setelah beberapa lama terlelap dalam bunga tidurnya, akhirnya gadis itu terbangun dengan mata yang masih berat untuk membuka dengan sempurna. Masih merasa nyaman dengan selimut yang membungkus tubuhnya, membuat rasa enggan semakin kuat menahannya untuk bangkit dari kasurnya yang empuk. Astagfirullah, aku kan belum shalat isya', batinnya. Ia pun berusaha bangkit melepaskan ikatan setan yang menumpukkan ribuan kemalasan sebagai selimut nyamannya.
Usai menunaikan shalat fardhu, ia menjamah ponsel yang masih tergeletak di atas tempat tidur. Lantas ia langsung membuka akun facebook, dengan mengharapkan paling tidak ada seuntai kata yang dikirim untuknya melalui pesan. Ya, mengharapkan seuntai kata terkirim dari seseorang yang ia kasihi selama ini.
Namun seperti biasa, ia menahan diri untuk berharap. Ia tak ingin harapannya terhempas sia-sia. Itu akan membuatnya semakin sakit. Padahal bukanlah sesuatu yang besar jika ia ingin mendapatkan pesan dari kekasihnya. Tapi begitulah. Ia selalu merasa berdiri di atas pengabaian sang kekasih. Bagaimana tidak? Terkadang pesan terakhirnya ditangguhkan begitu saja, padahal titik hijau yang menandakan pengguna dalam keadaan online masih menyala.
Jemarinya mengetuk-ngetuk lantai mengikuti irama search engine yang mulai memproses tautan messages.
Tak sampai menghabiskan satu menit untuk menyelesaikan prosesnya, akhirnya tautan itupun menampakkan 'isi' nya. Nihil. Yang ada hanya pesan biasa dari dua orang temannya, Aiebiem dan Andry. Ia menghela napas. Ternyata benar, kali ini harapannya kembali berakhir sia-sia.
Adakah aku bersikap terlalu kekanak-kanakan? Tanyanya dalam hati. Konyol sekali, padahal ia sendiri tahu bahwa tidak akan ada jawaban yang membantu atas pertanyaan yang tak terkatakan. Namun pertanyaan itu sudah cukup menggambarkan perasaan bersalahnya. Ia merasa bersalah karena keinginan hatinya sendiri yang selalu ingin mendapat perhatian. Seharusnya ia dapat mengerti bahwa kekasihnya sekarang bukan lagi anak SMA. Kini ia adalah seorang mahasiswa yang tentunya memiliki kepentingan yang jauh lebih banyak dan dirinya.. tentulah bukan prioritas yang pantas untuk diutamakan. Namun sebetulnya, gadis itu memiliki kepekaan yang tak kalian duga. Bukannya ia tak mengerti, sungguh ia sangat mengerti. Lantas apa yang perlu dipermasalahkan?
Hatinya. Hatinyalah yang sulit dikendalikan. Tak pernah sebelumnya ia merasa hatinya diuji begitu berat seperti yang ia rasakan saat ini.
Ia mampu mengendalikan hati dengan mendekatkan diri kepada Rabbnya. Begitulah ia selalu berusaha mengobati hatinya yang terluka. Namun ketika ia tergerak membuka facebook, sederet aktivitas yang dilakukan oleh kekasihnya yang bermunculan di beranda, membuat pertahanan hatinya hancur berkeping-keping. Ia menyadari betapa sekarang kekasihnya begitu sibuk dengan tugas-tugas kampusnya, dengan teman-teman satu kampusnya, dengan sahabat-sahabat sejurusannya. Pantas saja dirinya menjadi tak lebih penting dari itu semua.
Terkadang hal itu membuatnya merasa bahwa facebook seakan-akan menjadi phobia baginya. Ia takut tak bisa menahan diri karena menyadari bahwa kekasihnya sekarang begitu sibuk. Beberapa waktu lalu ia bahkan menangis. Menangis karena merasa bahwa kini ia benar-benar diabaikan. Ia mendapati sang kekasih dengan sebuah nametag yang diunggah dengan menandai teman-temannya, teman-teman satu kampus tentunya. Ini adalah kali pertama ia menangis. Tergugu ia hingga membuat tubuhnya bergetar. Mungkin karena terlalu banyak memendam. Kali ini ia merasa tak sanggup menahan gejolak perasaan yang semakin menyiksa.
Inilah yang ia tuliskan dalam secarik e-paper, beberapa saat sebelum pertahanannya terbukti merapuh: "Ingin kulepas tangis, namun tertahan oleh ego. Dalam kesendirian saja aku masih mampu bertopeng, merasa diri paling kuat, menahan buncahan perasaan yang ingin segera menumpahkan air mata. Aku tergugu dalam hati. Sendiri. Tanpa ada yang mengerti, dan tak akan kupaksakan siapa saja untuk mengerti. Jangan segera tanyakan apa yang terjadi. Karena aku sendiri masih butuh beberapa lama untuk memahami. Memahami bagaimana menangani diriku sendiri.
This night, I have just deactivated my facebook account. Mengapa? Mudah sekali menjawabnya. Karena aku selalu merasa diabaikan. Aku selalu merasa tak lebih penting dari kawan-kawannya, sahabat-sahabatnya. Entahlah. Jarang terdengar sapaan meski ia sendiri sedang online. Lihatlah, sifat childish ini begitu menyiksaku. Tapi, kau tahu? Harapan kosongku mungkin lebih besar dari egoku, harapan kosong itulah yang mendorongku untuk mengaktifkan akunku kembali.
Betapa saat ini dirimu adalah ujian terberat bagiku. Tak pernah sebelumnya hatiku diuji segini beratnya. Ya Rabbi.. Bagaimana aku harus kembali membangun pertahanan yang lebih kuat, pertahanan yang mampu membantuku tampak biasa menanggapi apa yang terjadi?
Beberapa waktu lalu ia menandaiku dalam sebuah catatannya yang berjudul 'Blogger Yang Kembali'. Aku tersenyum membacanya di tengah perasaan yang tak ku mengerti, lagi. Sekejap terlintas ingatan tentang blog yang dulu pernah kami buat bersama. Tak dapat kutemukan tanda-tanda apapun yang menunjukkan bahwa ia masih mengingatnya. Yang tertulis dalam catatan itu hanya alamat blog pribadi kesayangannya." Ia mengakhiri tulisannya. Pikirannya kini tak dapat ditebak siapapun juga. Ia memejamkan mata sembari membiarkan pikirannya terbebas menjelajah ke manapun ia suka.
Tanpa sadar, ia mulai berucap lirih, "Ingin kucurahkan semuanya di sini, tanpa mampu berharap lebih untuk dapat kau pahami."
***