Halaman
Sabtu, 27 Desember 2014
Refleksikan Amarah melalui Doa
Diposting oleh Yu Matara di 20.57Kamis, 11 Desember 2014
Doa Estafet (PART I)
Diposting oleh Yu Matara di 17.47
>>to be continued
Kamis, 27 November 2014
A Complicated Heart
Diposting oleh Yu Matara di 05.26November berhujan. Nikmat tuhan yang tiada terlupakan. Membuat debu semakin syahdu dalam ketundukan, menyerah untuk beterbangan. Ia malah beralih memperhatikan suara roda yang berselingan. Ya, seorang gadis sedang bersepeda menyusuri jalanan kota. Siapa yang tahu hatinya sedang terluka? Bukan. Gadis itu sedang berbahagia (seharusnya). Tetapi raut wajahnya tak tentu dan berubah-ubah. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Maka tanyakanlah pada hatinya. Segera sang hati akan menjawab dengan jeritan yang tak terkatakan...
Malam ini mengusaikan semua. Perjumpaan sesaat semoga cepat terlupakan. Aku merasakan interaksi kita sudah mulai tak biasa.
Aku tak masalah jika kau tak merasakan hal yang sama. Karena sungguh, aku memang tak pula menggantung harap yang demikian. Seperti ini, hanya caraku untuk waspada. Kau tahu mengapa? Karena aku takut setan akan semakin berkuasa. Karena aku takut, setan akan semakin marak berpesta. Maaf, teman. Ada kata yang mungkin kasar kau rasakan. Namun seperti itu, caraku untuk meruntuhkan panji setan. Jika sikap itu terus aku pertahankan. Setan tentu akan semakin berbahagia. Ingatlah bahwa pasti akan datang waktu di mana hal itu diperbolehkan.
Satu tetes. Dua, barangkali. Akh... tetesan yang keluar dari matanya sudah tak mampu dibedakan. Ia mulai menangis dalam hujan.
Rabu, 22 Oktober 2014
Halangi 'INGIN' Menemani Harimu
Diposting oleh Yu Matara di 05.22Malu kalau mengingat diri ini masih menginginkan ini dan itu, padahal
yang ada sudah cukup untuk sekedar memenuhi kebutuhan. Sejatinya insan
memang selalu ingin lebih, padahal ia tahu jika keinginan itu terus
dipelihara ia akan menjadi sakit sendiri. Karena keinginan manusia tidak
pernah sampai pada titik pemberhentian. Seperti bilangan real, yang
besarnya mencapai tak hingga. Selalu ada bilangan yang lebih besar dari
yang kita anggap paling besar. Selalu ada ingin yang lebih besar
meskipun kita sudah memiliki yang sekebutuhan saja. Bukan berarti sebuah
pelarangan jika kita menginginkan sesuatu yang lebih. Selama masih
mampu untuk memenuhinya, dan mengetahui timbangan manfaatnya lebih berat
dari mudharat, tidak ada yang salah.
"Aku sudah
dewasa, bisa mengendalikan diri untuk tidak tergoda dengan 'ingin' yang
melebihi kebutuhan, apalagi yang belum bisa kupenuhi sendiri," INGINNYA bisa ngomong seperti itu. Tapi setiap kali mendengar kawan-kawan berucap; 'Aku
bahagia karena punya gadget baru', 'Aku bahagia karena sekarang tinggal
di rumah mewah', 'Aku bahagia karena punya motor baru', 'Aku bahagia
karena...!@#!#$%' 'ingin' itu terkadang muncul lagi, hehe.
Malulah
jika hati kecil berbisik untuk bertanya, "Lantas kapan bahagianya
karena Allah?". Seperti tersudut sendiri. Ya Allah, aku sedang belajar.
Bekalilah aku dengan qonaah, merasa cukup untuk sekebutuhanku saja. :)
Aku
ingin selalu bahagia karena mensyukuri setiap pemberian-Mu. Bahagia
akan dapat kuperoleh di manapun dan dengan apapun yang kupunya, jika dan
hanya jika aku dalam keadaan selalu mengingat nikmat-Mu yang tak
berhingga. Aku sedang berusaha untuk itu.
Jika mendengar ungkapan seperti itu, jangan merasa minder karena tak punya seperti apa yang membuat mereka bahagia. Apa yang membuat mereka bahagia belum tentu menjadi tolok ukur kebahagiaan kita. Patrikan nama Allah selalu agar kita memiliki alasan untuk bahagia. Bahagiamu, bahagiaku, adalah bahagia karena Allah. Ingatlah bahwa kita selalu memiliki Dia yang selalu mengaliri setiap tarikan nafas kita dengan nikmat yang hanya butuh penghambaan sebagai balasan.
Maka dari itu mulai sekarang yuk belajar qonaah, dan halangi 'ingin' menemani harimu... :)
Ya Rabb, jaga setiap tingkah laku maupun lisanku agar tidak sampai menyinggung saudaraku yang lain.
Ya Rabb, aku akan memperbaiki ibadahku.
Minggu, 12 Oktober 2014
Rindu Ilahi
Diposting oleh Yu Matara di 03.13
Ingin ku berjumpa dengan-Mu
Apakah amal dan nista diri
Belenggu bertemu dengan-Mu
Adakah rindu dekat dengan-Mu
Penentram batin jiwaku
Rindu hati ku pada Mu Robbi
Ingin ku berjumpa dengan-Mu
Apakah amal dan nista diri
Belenggu bertemu dengan-Mu
Adakah rindu dekat dengan-Mu
Penentram batin jiwaku
Rindu, rindu, rindu pada Ilahi
Rindu hati ini pada-Mu Robbi
Tiadalah yang dapat menandingi
Segala puja kuasa-Mu Robbi
Ampunkan segala dosa dan nista
Yang tersembunyi atau yang nyata
Pada siapa lagi kami meminta
Selain Engkau yang kuasa
Ubahlah nista jadi mulia
Ubahlah dosa jadi maghfirah
Lindungi hamba dari segala
Berkata dusta dan nista
Rindu hatiku pada-Mu Robbi
Ingin ku berjumpa dengan-Mu
Apakah amal dan nista diri
Belenggu bertemu dengan-Mu
Adakah rindu dekat dengan-Mu
Penentram batin jiwaku
Rindu, rindu, rindu pada Ilahi
Rindu hati ini pada-Mu Robbi
Tiadalah yang dapat menandingi
Segala puja kuasa-Mu Robbi
Ampunkan sgala dosa dan nista
Yang tersembunyi atau yang nyata
Pada siapa lagi kami meminta
Selain Engkau yang kuasa
Rindu, rindu, rindu pada Ilahi
Rindu hati ini pada-Mu Robbi
Kamis, 02 Oktober 2014
Ghirah Fiddin
Diposting oleh Yu Matara di 16.00
Rabu, 06 Agustus 2014
I am Learning
Diposting oleh Yu Matara di 04.28Matanya terlihat sembab. Bukan sembab karena air mata. Tapi karena air minum. Sejak beberapa menit yang lalu air minum yang ia letakkan di atas meja di samping komputernya telah ia alih fungsikan menjadi cairan penangkal kantuk, bukan lagi pengusir dehidrasi.
"Hoaaamm.." Kimya menguap lebar demi melihat artikel yang sedang dikerjakannya masih kurang dari tiga ratus kata. Nyamuk-nyamuk di sekitarnya bahkan sempat hilang kendali akibat udara yang keluar deras dari mulutnya. Sekali lagi Kimya mencelupkan ibu jari dan telunjuknya ke dalam gelas yang menampung 'air minum'nya, dan kini hanya tertinggal sepertiga gelas saja.
Tuk.
Kepalanya terantuk cukup keras di layar monitor komputernya. Lantas ia kembali tersadar, mengatur jemarinya yang kian bergeser dari tuts keyboard agar sesuai dengan kaidah pengetikan sepuluh jari yang seharusnya. Deadline yang akan berakhir beberapa jam lagi membuatnya berusaha sekuat tenaga untuk melawan kantuk yang hebat.
Tiba-tiba saja Kimya merasakan massa tubuhnya berkurang secara perlahan, namun pasti. Ia benar-benar bingung dengan apa yang terjadi, bahkan ia tak mampu menghalaunya agar berhenti. Kimya melayang. Ataukah hanya 'merasa' melayang? Apakah ini ulah angin malam yang ingin menerbangkannya hingga terdampar di suatu tempat yang tak dapat ia prediksi?
***
Tidak ada yang tahu bagaimana Kimya sampai di tempat berkabut ini. Tempat berkabut yang secara berangsur-angsur mulai menipis dan akhirnya menjelma menjadi sebuah taman yang mirip dengan taman di belakang rumahnya. Di tengah taman itu terdapat satu bangku panjang. Bukan bangku panjang seperti bangku yang biasa terdapat di sekolah dasar tempatnya dulu. Ini bangku yang benar-benar panjang. Jika kau tetapkan satu langkah berjalan selebar 35 sentimeter, maka untuk mencapai ujung bangku yang satu dengan ujung bangku yang lain membutuhkan kurang lebih sebanyak 28 langkah. Bisa kau bayangkan dan pikirkan sendiri, pernahkah kau melihat bangku sepanjang itu?
Saat ini semua yang Kimya lihat dan rasakan terasa aneh. Bahkan ia sama sekali tidak terkejut mendapati seseorang yang amat ia kenal duduk di ujung bangku sebelah kanan. Ia pun berjalan mendekat, lantas duduk di ujung bangku sebelah kiri.
"Pernah cerita tentang masalah yang sekarang?" Tanpa basa-basi, Indra, lelaki yang duduk di ujung bangku sebelah kanan itu melontarkan pertanyaan yang belum sepenuhnya Kimya pahami.
Apa? Masalah? Apakah maksudmu hubungan kita saat ini sedang bermasalah? Kimya bertanya dalam hati.
"Masalah apa?" Kimya balik bertanya dengan raut keheranan.
"Ya ini..."
"Ini..? Apa Ndra?"
"Bahwa aku sudah tidak perhatian lagi,"
"Aku cuma cerita sama sahabatku, itupun tumben.."
"..."
Percakapan itu mendadak terhenti. Hanya terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Entah apa yang terpikir oleh Indra setelah mendengar jawaban terakhir dari Kimya. Kimya hanya mampu membalas sunyi dengan sunyi. Ia lalu bergumam dalam hati, "Diamnya apakah berarti ia menyesalkan betapa lemahnya diriku? Diamnya apakah berarti sebuah pertanyaan yang terlontar mengapa aku tidak bisa menjelma menjadi seperti sosoknya yang kuat, tak pernah menceritakan masalah pribadi kepada sahabatnya sekalipun? Diamnya apakah berarti pertanda bahwa tindakanku salah? Adakah aku telah melakukan satu kesalahan jika sekali-sekali menumpahkan beban yang teramat berat kurasakan dengan menceritakannya kepada sahabat yang paling ku percaya?
Kalau begitu, maafkanlah... aku sedang belajar, I am learning. Aku sedang belajar untuk menjadi sosok yang benar-benar kuat. Menjadikan Allah sebagai satu-satunya sandaran atas berbagai permasalahan hidup yang kualami, yang kujalani. Jangan kira ini adalah sesuatu yang mudah. Ini tidak mudah, ini teramat sulit bagiku. Maaf, Indra.
Jika sekarang kau menghilang lagi, bagaimana aku menjawab pertanyaanku sendiri yang selalu mengatakan 'kau di mana?' ? Apa kau selalu sibuk dengan kuliahmu, hingga aku salah kira dengan menganggapmu tidak memiliki perhatian lagi? Aku tentu salah jik..."
***
"...Apa kau selalu sibuk dengan kuliahmu, hingga aku salah kira dengan menganggapmu tidak perhatian lagi? Aku tentu salah jik...aaargh.. Ini apaan sih?" Kimya terbangun setelah merasakan dinginnya sepertiga sisa air minum yang digunakan Mira untuk mengguyur wajahnya.
"Sorry..sorry.. habis kamu dibangunin susah banget sih, jadi aku guyur aja pake ini," Mira berkata sambil menunjukkan gelas yang masih berada di genggamannya.
"Lagian ngapain sih pake bangun-bangunin segala?" Kimya berkata kesal sambil mengusap wajahnya.
"Niatku baik lo Kim, itu, artikel buat tugas ospek besok belum selesai dikerjain.."
Kimya menoleh ke arah monitor komputernya, dan ternyata benar, artikel yang ditulisnya belum mencapai jumlah kata minimal yang disyaratkan. Tulisannya hampir mencapai satu halaman ukuran A4, disebabkan karena tombol 'm' yang ditekan terlalu lama. Menjadikan paragraf terakhir penuh dengan berpuluh-puluh huruf 'm'.
"Ya ampuun..." Kimya berkata sembari menepuk jidatnya. "Kamu kenapa senyum-senyum gitu? Aneh banget.."
"Kamu kalo ngigo puitis ya?" Kata Mira.
"Hah? Ngigo? Puitis? Maksudnya?"
Mira lalu dengan singkat menjelaskan apa yang dikatakan Kimya tanpa sadar. Kimya tak habis pikir bagaimana ia bisa melontarkan kata-katanya hingga ke dunia nyata, padahal itupun diucapkannya dalam hati, di dalam mimpi tentunya.
"Ternyata aku yang aneh ya.." Kimya berkata sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Cerita ke sahabat aku pikir ga ada salahnya kok Kim.."
"Kok kamu malah nyambung ke sana lagi Mir,"
Tanpa menghiraukan pertanyaan Kimya, Mira pun melanjutkan, "Yang salah itu, cerita privasi ke orang-orang yang belum tentu bisa dipercaya. Menjadikan Allah sebagai satu-satunya sandaran? Itu memang harus, Kim. Tapi dengan menceritakan masalahmu ke sahabat, bukan berarti melupakan Allah sebagai Yang Maha Pemurah dalam memberi pertolongan. Kamu tahu bagaimana bertindak ketika benar-benar merasa sempit karena satu beban?"
"Gimana?"
"Lari ke Allah dulu, dekatkan diri untuk meminta pertolongan dan ketenangan. Barulah setelah itu kamu boleh membagi masalahmu dengan sahabat untuk meminta saran maupun pertimbangan, itupun jika kau rasa perlu. Jangan sampai terbalik untuk lebih mengutamakan sahabat sebagai tempat mengadu daripada Rabb sendiri. Gimana? Kamu bisa tangkap maksudku?"
Kimya hanya menjawab dengan anggukan lemahnya saja. Bagaimanapun juga, ia tetap ingin belajar untuk mandiri dan lebih kuat dalam menghadapi masalahnya sendiri, dan bersedia berbagi hanya dengan Rabbnya.
***
°°Long bench = Long distance