Sabtu, 27 Desember 2014

Refleksikan Amarah melalui Doa



Pernah melihat hadiah Tuhan yang disimpan untuk bumi? Hadiah itu disembunyikan-Nya di balik rintik hujan nan menyejukkan. Ya, kau mengenalnya dengan pelangi. Indah bukan? Pelangi berasal dari cahaya matahari yang terurai oleh butiran-butiran air di atmosfer. Ketika pelangi masih dalam bentuk satu warna dalam cahaya sang surya, kita belum mengenalnya sebagai sesuatu yang indah. Ia masih berupa cahaya putih tanpa variasi. Tidak ada yang terlihat istimewa dari cahayanya yang monoton, kecuali kita mengenalnya sebagai sumber energi terbesar yang dimiliki bumi. Namun ketika cahayanya terurai menjadi spektrum-spektrum cahaya berbagai warna, kita mengenalnya sebagai lukisan langit nan indah bernama pelangi.
Satu pertanyaan lagi, kawan. Apa saja yang kau makan hari ini? Sesuatu yang manis? Pedas? Asin? Atau gabungan dari semua rasa? Maka demikianlah seharusnya. Bayangkan saja betapa bahayanya ketika lidah hanya dibiarkan mengonsumsi makanan yang manis. Tubuh akan sangat berisiko terkena penyakit diabetes. Lantas bagaimana jika kita hanya mengonsumsi makanan pedas sepanjang hari? Tentu akan sangat membahayakan dinding lambung yang dapat berakibat timbulnya penyakit maag. Ternyata dalam hal makanan pun kita tidak bisa mengonsumsi hanya satu macam rasa saja.
Fenomena yang sama juga terjadi di dalam kehidupan di muka bumi. Dalam skala yang lebih spesifik kita dapat melihat pada karakter yang dimiliki oleh setiap manusia. Dalam hal ini kita mengetahui bahwa setiap manusia di dunia hidup dengan karakter yang berbeda-beda. Ada yang pemaaf, pemarah, pendiam, cerewet atau bahkan kombinasi dari beberapa karakter, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan. Di satu saat, kita mungkin masih bisa merasa nyaman dengan karakter buruk seseorang. Namun ketika karakter buruk tersebut malah berimbas sampai menyakiti hati kita, maka pertanyaannya; mampukah kita bertahan tanpa amarah?
Sebagian dari kita mungkin ada yang masih mampu menahan amarah. Namun belum tentu demikian bagi sebagian yang lain. Lantas apa yang mesti dilakukan ketika seseorang sampai hati menyakiti kita dengan sifatnya yang kurang terpuji?
Menenangkan hati adalah langkah pertama yang paling utama demi menjaga hati dari percikan noda karena amarah. Kunci untuk dapat memperoleh ketenangan hati tiada lain adalah dengan mengingat Allah melalui dzikir. Seperti apa yang telah difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an surat Ar-Ra’d ayat 28 sebagai berikut :
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram,”
Setelah berdzikir, perlakukan ia yang menyakitimu dengan perlakuan yang baik tanpa sepengetahuannya. Perlakuan baik itu adalah dengan mendoakannya. Mohonkan kepada Allah agar hatinya dapat terbuka untuk menyadari sifat yang tanpa sadar telah menyakiti karibnya. Agar hatinya terbuka untuk paling tidak meminta maaf atas khilaf diri yang lepas kendali, agar hatinya dapat terbuka untuk mengubah sedikit demi sedikit perangai buruk yang dimilikinya.
Mengapa harus memilih doa sebagai perlakuan baik untuk membalas ia yang telah menyakiti hati? Coba simaklah hadits di bawah ini :
“Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama,” (H.R. Muslim)
Dari hadits di atas kita dapat mengetahui bahwasanya doa yang kita panjatkan untuk saudara sesama muslim juga akan terpantul menjadi doa yang sama yang diucapkan oleh malaikat untuk kita. Lihatlah, betapa beruntungnya bagi orang yang mendoakan. Doa kebaikan yang diterima bukan dari manusia yang tak pernah luput dari dosa, melainkan dari malaikat yang tidak ada sedikitpun ingkar dalam setiap detail titah Tuhannya.
Demikianlah kenyataannya, selain menyelipkan harap dalam doa agar ia yang telah lalai menjaga sikap buruknya dapat berubah menjadi lebih baik, secara tidak langsung malaikatpun berdoa untuk perbaikan pribadi yang mendoakan. Dengan begitu kita dapat menyadari bahwa yang membutuhkan doa kebaikan itu bukan saja ia yang kita anggap telah banyak menyakiti. Tetapi juga kita sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya kitapun sangat membutuhkan doa yang serupa. Siapakah yang dapat menjamin bahwa yang mendoakan pastilah seorang yang suci dari perangai buruk nan menyakiti? Tak seorangpun, kawan.
"Maka refleksikanlah amarahmu melalui doa. Untaian kata bermakna kebaikan untuk saudara muslim tercinta yang mungkin lupa. Apabila perangai buruknya masih saja muncul dan membuat sakit di dada, maka keraskanlah doa sekeras ia menorehkan luka."

Kamis, 11 Desember 2014

Doa Estafet (PART I)



Apa kabar, siang? Seperti biasa, desember ini kau masih saja berselimut sendu. Kerap kali juga kusaksikan matahari yang pemalu, selalu berusaha menyembunyikan diri di balik punggung sang awan. Untukmu, sang surya. Aku ingin berkata. Betapapun kau berusaha bersembunyi, ada kalanya titah tuhan akan membuatmu kembali untuk bumi. Kembali sebagai rahmat, sama seperti awan yang juga bertahan dengan mengantungi hujan sebagai rahmat.
Sekian lama menunggu celah untuk memulai perjalanan ke kampus demi kalkulus, akhirnya hujan mulai mereda menjadi rintik gerimis. Dari gerimis kemudian melemah menjadi hanya berupa butiran-butiran halus air langit yang menyisakan hawa dingin. Tidak ada lagi kesempatan sebaik ini untuk menerobos jalanan siang, kurasa. Akhirnya kuputuskan untuk berangkat bersama ‘si kuning’.
Belum lagi sampai tujuan, air langit kembali menderas dari hanya berupa butiran-butiran halus menjadi rintik gerimis yang semakin lama semakin menderas, hujan pun menerpa tanpa ampun. Aku tak kan menyesal jika harus 'bolos' kuliah karena kondisi yang seperti ini, setidaknya aku memiliki ikhtiar untuk mengejar kalkulus yang hanya memiliki jatah 40 menit untuk hari ini.
***
Dari kontrakan menuju kampus hujan semakin deras. Karena takut pakaian basah kuyup akhirnya aku memutuskan untuk berteduh di MIPA Utara sembari menunggu kemungkinan hujan mereda. Tapi waktu terus berjalan, tanpa berhenti sedikitpun atas dasar kasihan melihat seorang mahasiswi yang rela menerobos hujan demi kalkulus (wheh :3).
Kenyataannya, setelah menunggu beberapa lama air langitpun tak kunjung sirna. Tapi setidaknya hujan telah kembali mereda menjadi hanya berupa jarum-jarum kecil air yang menghujam ke bumi. Ini kesempatan (lagi). Kupikir kembali menerobos jalan menuju MIPA Selatan tidaklah terlalu menyiksa dengan sendu langit seperti ini.
Perjalanan dari MIPA Utara menuju MIPA Selatan tak sampai memakan waktu 10 menit. Setelah sampai di depan gedung MIPA Selatan akupun bergegas melangkahkan kaki menuju ruang kuliah. Belum sampai di ruangan, jam dinding di persimpangan tangga menuju lantai 2 menyergapku dengan perasaan ragu. Kondisi sudah basah kuyup dan waktu yang tersisa kurang dari 20 menit lagi. Bimbang. Antara mengikuti kuliah -dengan pakaian yang basah kuyup- dengan membiarkan waktu terlewatkan karena kondisi badan yang sudah tidak nyaman karena basah.
Tanpa membuang waktu lebih banyak lagi, akhirnya aku memutuskan untuk ‘mengikhlaskan’ kalkulus pada hari itu dan menggantinya dengan mengunjungi mushalla depan kampus. Ingin menunggu agenda selanjutnya saja, pertemuan terakhir sekaligus acara penutupan APAI.
>>to be continued

Kamis, 27 November 2014

A Complicated Heart

November berhujan. Nikmat tuhan yang tiada terlupakan. Membuat debu semakin syahdu dalam ketundukan, menyerah untuk beterbangan. Ia malah beralih memperhatikan suara roda yang berselingan. Ya, seorang gadis sedang bersepeda menyusuri jalanan kota. Siapa yang tahu hatinya sedang terluka? Bukan. Gadis itu sedang berbahagia (seharusnya). Tetapi raut wajahnya tak tentu dan berubah-ubah. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Maka tanyakanlah pada hatinya. Segera sang hati akan menjawab dengan jeritan yang tak terkatakan...

Malam ini mengusaikan semua. Perjumpaan sesaat semoga cepat terlupakan. Aku merasakan interaksi kita sudah mulai tak biasa.
Aku tak masalah jika kau tak merasakan hal yang sama. Karena sungguh, aku memang tak pula menggantung harap yang demikian. Seperti ini, hanya caraku untuk waspada. Kau tahu mengapa? Karena aku takut setan akan semakin berkuasa. Karena aku takut, setan akan semakin marak berpesta. Maaf, teman. Ada kata yang mungkin kasar kau rasakan. Namun seperti itu, caraku untuk meruntuhkan panji setan. Jika sikap itu terus aku pertahankan. Setan tentu akan semakin berbahagia. Ingatlah bahwa pasti akan datang waktu di mana hal itu diperbolehkan.

Satu tetes. Dua, barangkali. Akh... tetesan yang keluar dari matanya sudah tak mampu dibedakan. Ia mulai menangis dalam hujan.

Rabu, 22 Oktober 2014

Halangi 'INGIN' Menemani Harimu

Malu kalau mengingat diri ini masih menginginkan ini dan itu, padahal yang ada sudah cukup untuk sekedar memenuhi kebutuhan. Sejatinya insan memang selalu ingin lebih, padahal ia tahu jika keinginan itu terus dipelihara ia akan menjadi sakit sendiri. Karena keinginan manusia tidak pernah sampai pada titik pemberhentian. Seperti bilangan real, yang besarnya mencapai tak hingga. Selalu ada bilangan yang lebih besar dari yang kita anggap paling besar. Selalu ada ingin yang lebih besar meskipun kita sudah memiliki yang sekebutuhan saja. Bukan berarti sebuah pelarangan jika kita menginginkan sesuatu yang lebih. Selama masih mampu untuk memenuhinya, dan mengetahui timbangan manfaatnya lebih berat dari mudharat, tidak ada yang salah.

"Aku sudah dewasa, bisa mengendalikan diri untuk tidak tergoda dengan 'ingin' yang melebihi kebutuhan, apalagi yang belum bisa kupenuhi sendiri," INGINNYA bisa ngomong seperti itu. Tapi setiap kali mendengar kawan-kawan berucap; 'Aku bahagia karena punya gadget baru', 'Aku bahagia karena sekarang tinggal di rumah mewah', 'Aku bahagia karena punya motor baru', 'Aku bahagia karena...!@#!#$%'  'ingin' itu terkadang muncul lagi, hehe.
Malulah jika hati kecil berbisik untuk bertanya, "Lantas kapan bahagianya karena Allah?". Seperti tersudut sendiri. Ya Allah, aku sedang belajar. Bekalilah aku dengan qonaah, merasa cukup untuk sekebutuhanku saja. :)
Aku ingin selalu bahagia karena mensyukuri setiap pemberian-Mu. Bahagia akan dapat kuperoleh di manapun dan dengan apapun yang kupunya, jika dan hanya jika aku dalam keadaan selalu mengingat nikmat-Mu yang tak berhingga. Aku sedang berusaha untuk itu.

***
Ini, hasil tarikan nafas yang dalam beberapa kali. Rangkaian kalimat yang sederhana namun InsyaAllah bermakna. Semoga dapat memotivasiku dan memotivasimu, siapapun dirimu yang membaca tulisanku.

Jika mendengar ungkapan seperti itu, jangan merasa minder karena tak punya seperti apa yang membuat mereka bahagia. Apa yang membuat mereka bahagia belum tentu menjadi tolok ukur kebahagiaan kita. Patrikan nama Allah selalu agar kita memiliki alasan untuk bahagia. Bahagiamu, bahagiaku, adalah bahagia karena Allah. Ingatlah bahwa kita selalu memiliki Dia yang selalu mengaliri setiap tarikan nafas kita dengan nikmat yang hanya butuh penghambaan sebagai balasan.

Maka dari itu mulai sekarang yuk belajar qonaah, dan halangi 'ingin' menemani harimu... :)

Ya Rabb, jaga setiap tingkah laku maupun lisanku agar tidak sampai menyinggung saudaraku yang lain.

Ya Rabb, aku akan memperbaiki ibadahku.

Minggu, 12 Oktober 2014

Rindu Ilahi



Puisi indah ini membuat iman kian merekah. Puisi indah yang mengawali senandung rindu seorang hamba kepada Illahnya. Puisi ini, semoga dapat menjadi pupuk kerinduan di sepertiga malam. Semoga dapat menimbulkan penyesalan bagi yang melewatkan sujud di tengah temaram. Puisi ini, kutulis ulang dari kalimat untaian indah Dawai Hati, untukmu, sahabat… dan sebarkan untuk mukmin dan mukminah yang sedang merindu. Merindu akan kehadiran Sang Illah di lubuk hati yang terdalam. 

Sahabat, maka ini dia puisi indah itu. Bacalah, dan resapi dengan hati…

Bismillahirrahmanirrahim…

Duhai sahabat, ada semai nada menggugah jiwa

Nada itu adalah firman-Nya yang tiada bertepi dan tiada meragukan hati

Kini dawai hati mulai bersemi lewat senandung indah penggugah jiwa

Harapan, terhujam dalam desir desah diri, agar kidung ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari jiwa

Bila saja kerinduan hati pada Ilahi dan Rasul-Nya terpaut dalam butir-butir niat sukma

Maka itu adalah azzam yang tiada tara terteduh dalam fitrah jiwa

Batin ini menjerit memohon ampunan Ilahi atas titik-titik noda dan busa-busa cinta dunia yang hanyut dalam derai derita jiwa

Ingin hati ini menghapus noda hitam dalam qolbu

Mengubahnya menjadi qolbu yang bening dan penuh cinta

Duhai Rabbi, bimbing diri ini menuju cinta-Mu, menggapai mahligai mahabbah Rasul-Mu

Jadikan getar-getar kidung ini terpatri dalam diri siapapun yang mampu menitiskannya dalam guratan qolbu

Duhai Rabbi, ingin kami  memiliki rasa rindu tak terperi akan cinta-Mu

Rindu yang menghanyutkan qolbu untuk selalu mengingat-Mu

Bilakah rindu ini berlabuh dalam pantai kasih-Mu

Sahabat, mari kita renungkan setiap syair kerinduan dawai hati

Semoga rindu kita pada Ilahi semakin dalam dan tak terkalahkan dari rasa rindu terhadap makhluk-Nya

***
Rindu Ilahi

Oleh: Dawai Hati


Rindu hatiku pada-Mu Robbi
Ingin ku berjumpa dengan-Mu
Apakah amal dan nista diri
Belenggu bertemu dengan-Mu

Adakah rindu dekat dengan-Mu
Penentram batin jiwaku
Rindu hati ku pada Mu Robbi
Ingin ku berjumpa dengan-Mu
Apakah amal dan nista diri
Belenggu bertemu dengan-Mu

Adakah rindu dekat dengan-Mu
Penentram batin jiwaku

Rindu, rindu, rindu pada Ilahi
Rindu hati ini pada-Mu Robbi
Tiadalah yang dapat menandingi
Segala puja kuasa-Mu Robbi

Ampunkan segala dosa dan nista
Yang tersembunyi atau yang nyata
Pada siapa lagi kami meminta
Selain Engkau yang kuasa

Ubahlah nista jadi mulia
Ubahlah dosa jadi maghfirah
Lindungi hamba dari segala
Berkata dusta dan nista

Rindu hatiku pada-Mu Robbi
Ingin ku berjumpa dengan-Mu
Apakah amal dan nista diri
Belenggu bertemu dengan-Mu
Adakah rindu dekat dengan-Mu
Penentram batin jiwaku

Rindu, rindu, rindu pada Ilahi
Rindu hati ini pada-Mu Robbi
Tiadalah yang dapat menandingi
Segala puja kuasa-Mu Robbi

Ampunkan sgala dosa dan nista
Yang tersembunyi atau yang nyata
Pada siapa lagi kami meminta
Selain Engkau yang kuasa

Rindu, rindu, rindu pada Ilahi
Rindu hati ini pada-Mu Robbi

Kamis, 02 Oktober 2014

Ghirah Fiddin



 Ghirah jika diartikan dalam bahasa Indonesia sering kali disebut sebagai gairah. Secara keseluruhan maka ghirah fiddin adalah gairah atau semangat dalam menuntut ilmu agama. Dua ulama besar Islam yakni Imam Ghazali dan Imam Zarnuji memiliki klasifikasi sendiri dalam hal ilmu. Imam Ghazali membagi ilmu ke dalam 3 bagian secara umum, yaitu; ilmu tauhid, syariah dan akhlaq. Begitu juga dengan Imam Zarnuji, beliau mengelompokkan ilmu ke dalam 3 bagian besar yang sedikit berbeda dengan Imam Ghazali, yaitu; ilmu tauhid, fiqih dan akhlaq.
Islam mewajibkan setiap umatnya untuk menuntut ilmu, seperti yang disabdakan Rasulullah saw di dalam sebuah hadits yang artinya:
“Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim.” (HR. Bukhari).
Ilmu diibaratkan seperti pohon dan ibadah (adalah pengamalan dari ilmu itu sendiri) sebagai buahnya. Ilmu jika tidak diamalkan tidak akan ada gunanya. Orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkannya diibaratkan seperti orang Yahudi. Dan orang yang beramal tetapi tidak didasari dengan ilmu diibaratkan seperti orang Nasrani. Sedangkan orang mukmin memiliki keduanya, yaitu ilmu dan pengamalannya.
Imam Zarnuji menyebutkan bahwa ilmu utama yang menjadi dasar yang harus kita pelajari disebut dengan ilmul haal, yaitu ilmu yang mewajibkan kita melakukan ibadah fardu ‘ain.
Imam Ghazali pernah mengatakan:
“Semua manusia akan binasa kecuali orang-orang yang berilmu, semua orang yang berilmu akan binasa kecuali orang-orang yang mengamalkan ilmunya. Orang-orang yang mengamalkan ilmunya pun akan binasa kecuali orang-orang yang ikhlas. Orang-orang yang ikhlas pun dalam bahaya jika mereka tidak dapat menjaga keikhlasannya.”
Dari kalimat di atas dapat disimpulkan bahwa betapa mulianya orang-orang yang ikhlas serta dapat menjaga keikhlasannya.
Hasan Al-Basri mengatakan: teruslah mencari ilmu tanpa harus melupakan ibadah, dan teruslah beribadah tanpa melupakan pentingnya mencari ilmu.
Dalam kalimat hikmah di atas dapat dipetik suatu kesimpulan bahwa ilmu dan ibadah adalah 2 hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya harus berjalan beriringan tanpa saling melepas satu sama lain. Namun jika suatu keadaan mengharuskan kita untuk memilih, manakah yang lebih utama, ilmu atau ibadah?
Imam Ghazali menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan bahwa ilmu itu lebih penting. Karena dengan ilmu kita bisa beribadah dengan baik dan benar. Dengan ilmu kita dapat mengenal Allah lebih dekat. Karena dengan ilmu semangat dalam beribadah dapat bertambah, dengan ilmu kita dapat meningkatkan nilai ibadah.
Ada beberapa syarat dalam menuntut ilmu yang harus diperhatikan, yang pertama yaitu harus didasari dengan niat yang ikhlas, harus didampingi oleh guru, prioritas, sabar dan tawakkal. Untuk syarat keempat yaitu sabar, Ibnu Hajar Al-Atsqolani mengelompokkannya ke dalam 3 bagian; sabar dalam menghadapi maksiat (menjaga diri agar tidak terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan), sabar dalam ketaatan kepada Allah swt dan sabar dalam menerima ujian dari Allah swt.
***
Sekian ringkasan singkat untuk kuliah FORSALAMM sesi ketiga. Mohon maaf atas segala kekurangan maupun kesalahan baik dalam pemaknaan maupun penulisan. Silakan meninggalkan jejak untuk memberi komentar, tanggapan, kritik, saran atau yang lainnya. Jazakumullahu khairan.

Rabu, 06 Agustus 2014

I am Learning

Matanya terlihat sembab. Bukan sembab karena air mata. Tapi karena air minum. Sejak beberapa menit yang lalu air minum yang ia letakkan di atas meja di samping komputernya telah ia alih fungsikan menjadi cairan penangkal kantuk, bukan lagi pengusir dehidrasi.
"Hoaaamm.." Kimya menguap lebar demi melihat artikel yang sedang dikerjakannya masih kurang dari tiga ratus kata. Nyamuk-nyamuk di sekitarnya bahkan sempat hilang kendali akibat udara yang keluar deras dari mulutnya. Sekali lagi Kimya mencelupkan ibu jari dan telunjuknya ke dalam gelas yang menampung 'air minum'nya, dan kini hanya tertinggal sepertiga gelas saja.
Tuk.
Kepalanya terantuk cukup keras di layar monitor komputernya. Lantas ia kembali tersadar, mengatur jemarinya yang kian bergeser dari tuts keyboard agar sesuai dengan kaidah pengetikan sepuluh jari yang seharusnya. Deadline yang akan berakhir beberapa jam lagi membuatnya berusaha sekuat tenaga untuk melawan kantuk yang hebat.
Tiba-tiba saja Kimya merasakan massa tubuhnya berkurang secara perlahan, namun pasti. Ia benar-benar bingung dengan apa yang terjadi, bahkan ia tak mampu menghalaunya agar berhenti. Kimya melayang. Ataukah hanya 'merasa' melayang? Apakah ini ulah angin malam yang ingin menerbangkannya hingga terdampar di suatu tempat yang tak dapat ia prediksi?
***
Tidak ada yang tahu bagaimana Kimya sampai di tempat berkabut ini. Tempat berkabut yang secara berangsur-angsur mulai menipis dan akhirnya menjelma menjadi sebuah taman yang mirip dengan taman di belakang rumahnya. Di tengah taman itu terdapat satu bangku panjang. Bukan bangku panjang seperti bangku yang biasa terdapat di sekolah dasar tempatnya dulu. Ini bangku yang benar-benar panjang. Jika kau tetapkan satu langkah berjalan selebar 35 sentimeter, maka untuk mencapai ujung bangku yang satu dengan ujung bangku yang lain membutuhkan kurang lebih sebanyak 28 langkah. Bisa kau bayangkan dan pikirkan sendiri, pernahkah kau melihat bangku sepanjang itu?
Saat ini semua yang Kimya lihat dan rasakan terasa aneh. Bahkan ia sama sekali tidak terkejut mendapati seseorang yang amat ia kenal duduk di ujung bangku sebelah kanan. Ia pun berjalan mendekat, lantas duduk di ujung bangku sebelah kiri.
"Pernah cerita tentang masalah yang sekarang?" Tanpa basa-basi, Indra, lelaki yang duduk di ujung bangku sebelah kanan itu melontarkan pertanyaan yang belum sepenuhnya Kimya pahami.
Apa? Masalah? Apakah maksudmu hubungan kita saat ini sedang bermasalah? Kimya bertanya dalam hati.
"Masalah apa?" Kimya balik bertanya dengan raut keheranan.
"Ya ini..."
"Ini..? Apa Ndra?"
"Bahwa aku sudah tidak perhatian lagi,"
"Aku cuma cerita sama sahabatku, itupun tumben.."
"..."
Percakapan itu mendadak terhenti. Hanya terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Entah apa yang terpikir oleh Indra setelah mendengar jawaban terakhir dari Kimya. Kimya hanya mampu membalas sunyi dengan sunyi. Ia lalu bergumam dalam hati, "Diamnya apakah berarti ia menyesalkan betapa lemahnya diriku? Diamnya apakah berarti sebuah pertanyaan yang terlontar mengapa aku tidak bisa menjelma menjadi seperti sosoknya yang kuat, tak pernah menceritakan masalah pribadi kepada sahabatnya sekalipun? Diamnya apakah berarti pertanda bahwa tindakanku salah? Adakah aku telah melakukan satu kesalahan jika sekali-sekali menumpahkan beban yang teramat berat kurasakan dengan menceritakannya kepada sahabat yang paling ku percaya?
Kalau begitu, maafkanlah... aku sedang belajar, I am learning. Aku sedang belajar untuk menjadi sosok yang benar-benar kuat. Menjadikan Allah sebagai satu-satunya sandaran atas berbagai permasalahan hidup yang kualami, yang kujalani. Jangan kira ini adalah sesuatu yang mudah. Ini tidak mudah, ini teramat sulit bagiku. Maaf, Indra.
Jika sekarang kau menghilang lagi, bagaimana aku menjawab pertanyaanku sendiri yang selalu mengatakan 'kau di mana?' ? Apa kau selalu sibuk dengan kuliahmu, hingga aku salah kira dengan menganggapmu tidak memiliki perhatian lagi? Aku tentu salah jik..."
***
"...Apa kau selalu sibuk dengan kuliahmu, hingga aku salah kira dengan menganggapmu tidak perhatian lagi? Aku tentu salah jik...aaargh.. Ini apaan sih?" Kimya terbangun setelah merasakan dinginnya sepertiga sisa air minum yang digunakan Mira untuk mengguyur wajahnya.
"Sorry..sorry.. habis kamu dibangunin susah banget sih, jadi aku guyur aja pake ini," Mira berkata sambil menunjukkan gelas yang masih berada di genggamannya.
"Lagian ngapain sih pake bangun-bangunin segala?" Kimya berkata kesal sambil mengusap wajahnya.
"Niatku baik lo Kim, itu, artikel buat tugas ospek besok belum selesai dikerjain.."
Kimya menoleh ke arah monitor komputernya, dan ternyata benar, artikel yang ditulisnya belum mencapai jumlah kata minimal yang disyaratkan. Tulisannya hampir mencapai satu halaman ukuran A4, disebabkan karena tombol 'm' yang ditekan terlalu lama. Menjadikan paragraf terakhir penuh dengan berpuluh-puluh huruf 'm'.
"Ya ampuun..." Kimya berkata sembari menepuk jidatnya. "Kamu kenapa senyum-senyum gitu? Aneh banget.."
"Kamu kalo ngigo puitis ya?" Kata Mira.
"Hah? Ngigo? Puitis? Maksudnya?"
Mira lalu dengan singkat menjelaskan apa yang dikatakan Kimya tanpa sadar. Kimya tak habis pikir bagaimana ia bisa melontarkan kata-katanya hingga ke dunia nyata, padahal itupun diucapkannya dalam hati, di dalam mimpi tentunya.
"Ternyata aku yang aneh ya.." Kimya berkata sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Cerita ke sahabat aku pikir ga ada salahnya kok Kim.."
"Kok kamu malah nyambung ke sana lagi Mir,"
Tanpa menghiraukan pertanyaan Kimya, Mira pun melanjutkan, "Yang salah itu, cerita privasi ke orang-orang yang belum tentu bisa dipercaya. Menjadikan Allah sebagai satu-satunya sandaran? Itu memang harus, Kim. Tapi dengan menceritakan masalahmu ke sahabat, bukan berarti melupakan Allah sebagai Yang Maha Pemurah dalam memberi pertolongan. Kamu tahu bagaimana bertindak ketika benar-benar merasa sempit karena satu beban?"
"Gimana?"
"Lari ke Allah dulu, dekatkan diri untuk meminta pertolongan dan ketenangan. Barulah setelah itu kamu boleh membagi masalahmu dengan sahabat untuk meminta saran maupun pertimbangan, itupun jika kau rasa perlu. Jangan sampai terbalik untuk lebih mengutamakan sahabat sebagai tempat mengadu daripada Rabb sendiri. Gimana? Kamu bisa tangkap maksudku?"
Kimya hanya menjawab dengan anggukan lemahnya saja. Bagaimanapun juga, ia tetap ingin belajar untuk mandiri dan lebih kuat dalam menghadapi masalahnya sendiri, dan bersedia berbagi hanya dengan Rabbnya.
***

°°Long bench = Long distance