Jumat, 15 November 2013

KIRA-KIRA SEPERTI INI...



Mataku terasa lengket karena lelah. Ini sungguh tak adil. Materi biologi baru saja hanya 1/8 dari separuhnya yang kubaca. Kau bisa bayangkan, itu kuantitas yang teramat kecil.
Aku mulai duduk menghadap Asus, lepi nanggung yang kupikir saat ini adalah satu-satunya benda paling berharga yang kupunya. Aku mengharapkan sebuah selingan untuk menyegarkan kembali mata yang ‘lelah’. Lihatlah, jari-jariku mulai cekatan menekan tombol navigasi yang ada di keyboard qwerty si Asus. Ada rasa bersalah yang terlintas, namun tak banyak jika kau ingin tahu.
Computer --> DATA (D:) --> GENERAL --> Ulma Unique --> Literatures --> E-Books --> KUMPULAN NOVEL --> Lord of the Ring -->…
Ada banyak subfolder, semua terstruktur. Tidak sulit untuk mencari berkas-berkas yang kau butuhkan di ‘Asus’ kesayanganku ini.
Jemariku menggantung, hanya tinggal menekan satu klik saja Fellowship of the Ring dengan format pdf terbuka. Fantasiku bisa berlanjut kembali. Namun semua terasa lebih berat dari biasanya. Perasaan bersalah yang ‘tak banyak’ di awal tadi malah berkoloni membentuk gumpalan awan mendung tepat di atas kepalaku. Siap menghujani dengan tampungan rasa bersalah yang sudah semakin berat dikandung.
Tiba-tiba dua sosok mungil mulai berusaha menyembulkan kepalanya dari balik ‘awan kesalahan’ itu. Mereka terlihat kepayahan. Sepertinya ini terlalu naïf. Tapi, biarlah kubagi sedikit. Betapa liarnya fantasiku saat ini.
Kedua sosok mungil itu mirip sekali denganku. Jika inert fantasymu sudah mulai dapat diajak kompromi, kau boleh membayangkan. Sosok-sosok mungil itu seukuran dengan jari telunjukmu ditambah 1 inci (well, kukira itu relatif). Mereka awalnya mulai berdebat, menggunakan bahasa yang sama sekali tak kumengerti. Bahasa peri, bisa jadi. Tunggu, kau menyimak kata peri, kawan? Well, ada sedikit gambaran yang setidaknya harus kau pahami.
Di sisi kanan bagian atas kepalaku, sosok mungil yang menyembul dari balik awan adalah sosok yang anggun. Kau bisa bayangkan, ia mengenakan gaun putih dengan mahkota bundar di atas kepalanya. Sepasang sayap ala malaikatpun ikut bertengger di balik punggungnya. Dengan kostum norak seperti itu membuatnya terlihat lebih kepayahan daripada si mungil yang berada di sebelah kiriku ketika berusaha menyembulkan kepalanya dari balik awan. Mahkotanya hampir saja menggelinding, beberapa helai bulu putih sayapnya juga ikut tergerus hingga mengenai kelopak mata kananku.
Lain lagi halnya dengan si kiri, ia lebih sederhana tampaknya. Hanya mengenakan pakaian serba merah dari ujung kepala hingga ujung kaki, dan… sepasang tanduk lambang evil di ujung kepala.
Mereka masih berdebat.
Butuh sedikit kesabaran…
Aku menunggu…
Masih…
Dan akhirnya…
“STOP! Kumohon, berhentilah…” aku menyentak, mereka terkejut. Menyadari respon yang mulai tak menyenangkan, dengan sepasang mata yang tak lepas memandangku mereka mulai melangkah menuju bahuku. Duduk.
“Bicaralah… dan katakan, apa yang kalian inginkan?” lanjutku kesal.
“Kau hendak membaca novel itu lagi? Fellowship of the Ring?” si merah mengambil kesempatan pertama untuk memulai pembicaraan denganku.
“Apa masalahmu?” tanyaku menantang.
“Putar balik navigasinya, harusnya sejak awal kau arahkan ke main folder ‘SCHOOL’, bukan ‘GENERAL’. Biologi menantimu…” si merah berkata bijak. Aku justru terkejut mendengarnya. Kupikir negasi dari pernyataan bijak seharusnya lebih wajar ia lontarkan.
“Dasar munafik!!! Itu kata-kataku! Kau bajak skenarioku…” si putih berdiri dari bahu kananku dan mulai menumpahkan emosinya dengan menunjuk-nunjukkan jarinya ke arah si merah. Sedangkan yang dihujat hanya tersenyum santai menanggapi si putih, ia semakin menunjukkan kesan bijaknya.
“Percayalah, semua ini tidak seperti yang kau bayangkan. Ada maksud jahat yang tersembunyi di balik bijak yang kau pandang!” si putih berkata dengan berbisik sambil memeluk pipiku, yang kubisa hanya melirik aneh ke sosok yang satu ini. “Percayalah…” ia memelas sekali lagi.
“Dengarkan kata-kataku, pastikan jalanmu benar, kau sungguh takkan menyesal!” si merah kembali melancarkan x-missionnya. Ia sungguh lihai, ucapan-ucapan sihirnya yang extremely soft membuatku semakin mudah menerima sugestinya.
Tak disangka, sosok mungil anggun bersayap itu seketika berlaku anarkis. Ia bergegas menghampiri si merah lalu segera menarik tanduk evilmiliknya. Mereka saling berangkulan, mencoba beradu posisi memperebutkan kemenangan. Memandang mereka dalam perseteruan fisik ternyata lebih kunikmati. Ini menarik. Menyaksikan harmoni warna yang seharusnya bersatu malah berseteru. Persis seperti yang terjadi dewasa ini. Hubungan dengan bangsa lain jalin melalui persahabatan, dengan bangsa sendiri melalui permusuhan. Merah dan putih bukannya dijadikan berdampingan, malah dijadikan perselisihan. Sungguh menggelikan!
“Lepaskan, bodoh! Sakit tauu..” tanduk kiri si merah masih tertarik kuat oleh tangan si putih.
“Karena tandukmu ini yang telah mentransmisikan sugesti yang berlawanan dengan kata-kata zahirmu, inilah harga yang harus kau bayar! Uugghh…” si putih berkata sembari tetap menarik tanduk kiri si merah.
“Biarkan aku menghasut dengan caraku sendiri! Sisi jahat mengarahkan ke perbuatan baik belum ada ditemukan, maka akulah pencetusnya!”
“Tapi itu jelas melawan kode etik penghasutan! Kau curang! Kau tetap curang!”
“Sekali lagi, dengarkan! Biarkan aku dengan caraku. Dan biarkan hasil akhir yang menentukan.. jangan terlalu diambil pusinglaah..”
“Baiklah kalau begitu. Kita lihat saja hasil akhir nanti…”
Untuk ke sekian kali, aku menyaksikan mereka saling menghujat dalam debat. Masih dengan bahasa mereka yang tak sepenuhnya terdefinisi. Samar-samar terdengar olehku mereka menyebut-nyebut tentang ‘sugesti’ dan ‘kode etik’. Semua itu membuatku semakin sulit untuk menentukan siapa sebenarnya yang protagonis di antara mereka.
“Cukup, kawan! Terimakasih untuk perdebatan sekaligus nasihat kalian hari ini. sekarang, kalian bisa kembali… silakan!” aku mengakhiri perjumpaan dengan dua makhluk kecil yang sebelumnya sudah kukatakan, sangat mirip denganku. Segera saja si putih berlari kecil mendekatiku dan berbisik tepat di daun telinga kananku, “Tetapkan hatimu, kawan. Jika kau benar-benar mendengar apa yang dikatakan si merah di awal, maka semua itu memang benar adanya. Tapi kau tetap harus berhati-hati, kau bisa saja melakukan hal yang berbalik karenanya,” maka kubalas pesan si putih dengan senyum ringan saja. Kubiarkan ia beranjak naik kembali menuju awan yang sejak awal tadi berada di atas kepalaku. Kembali, ia terlihat semakin kepayahan dengan kostum malaikat yang ia kenakan. Setelah berhasil mencapai puncak awan, si putih kembali berpaling padaku dan berkata, “Lain kali, kau bisa merancang kostum yang lebih ringan untukku.” Melihat ekspresi datar yang mengiringi ucapannya membuatku terpaksa harus menahan tawa geli karenanya. Kemudian ia dan si merahpun segera menghilang dari balik awan. Bersamaan dengan itu pula awan mendung yang berkoloni di atas kepalaku seketika berubah cerah dan menghilang hanya dengan sekali kedipan.
Setelah itu, menurutmu apa yang terjadi?
Cerdiknya si merah. Dengan sengaja mengarahkanku menuju perbuatan yang lebih utama, sedangkan ia jelas tahu bahwa manusia malah cenderung melakukan perbuatan yang kurang utama meskipun telah dinasihatkan sebelumnya. Dengan bahasa yang sedikit berbeda, bahwa manusia cenderung melanggar nasihat, manusia cenderung melawan peraturan, manusia cenderung melakukan sesuatu yang dilarang.
Dengan rasa bersalah yang kembali menyurut, tanpa ragu kujatuhkan pilihan untuk menekan tombol Enter pada tuts keyboard.
--> Fellowship of the Ring
OPENED!
Mari, lanjutkan membaca novel! :D

Usaha di UH 2 yang lebih maksimal
Disertai dengan selingan yang kelewat maksimal
Sebuah hobi yang tiada pernah mencapai titik marginal

Godaan Saat Belajar Biologi untuk Try Out
Kamis, 14 November 2013